BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kata
psikologi berasal dari bahasa Yunani Purba, yaitu dari kata Psyche (jiwa) dan logos (kajian mengenai sesuatu). Jadi kata psikologi bisa diartikan
sebagai suatu kajian mengenai sesuatu yang memberikan kesan kepada jiwa
seseorang. Atau dapat juga dikatakan bahwa psikologi merupakan studi tentang
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan sistematika
dan metode ilmiah, sehingga teorinya itu lebih objektif. Tingkah laku yang
totalitas sesuai dengan aspek kejiwaan individu itu dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu faktor interen maupun eksteren sehingga seseorang tersebut
memiliki sebuah kepribadian, karakteristik, sifat ataupun watak.
Tindakan sosial merupakan
perilaku suatu individu yang terjadi di dalam suatu masyarakat dimana dalam psikologi sering
disebut dengan pendekatan behavioristic,
karena fokus utamanya itu bahwa setiap perilaku manusia itu sebagai hasil
interaksi memiliki orientasi tertentu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para
pelaku tindakan tersebut.
Dalam bertindak, manusia
pasti berfokus atas gagasan tentang
apa yang dipikirkan dan diyakini kebenarannya sehingga manusia harus mencari sebuah kendali
untuk itu. Dalam dunia sosial banyak
manusia yang pengontrolan
terhadap dirinya sendiri masih sangat kurang apalagi
ketika dihadapkan pada suatu masalah sehingga perilaku-perilaku yang kurang
baik atau mungkin aneh. Perilaku
tersebut dikenal dengan perilaku agresi, yaitu suatu perilaku seseorang dengan
merusak suatu benda ataupun menyakiti fisik atau perasaan orang lain. Contoh
perilaku agresi adalah tindakan bully di
sekolah ataupun di kampus, kekerasan dalam rumah tangga, dll.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dalam
makalah ini penulis membahas
mengenai perilaku agresi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian agresi?
2.
Apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi agresi?
3.
Bagaimana cara
mengatasi perilaku agresi?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Memaparkan pengertian
agresi dari berbagai sumber
2.
Menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi agresi
3.
Menjelaskan cara
mengatasi perilaku agresi
Manfaat
penulisan makalah ini adalah untuk memperluas pengetahuan pembaca mengenai
perilaku agresi sehingga bisa mencegah ataupun mengurangi perilaku agresi itu
sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perilaku Agresi
Pengertian
agresi dari beberapa sumber, diantaranya:
1.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, agresi adalah perasaan marah atau tindakan kasar akibat
kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat
diarahkan kepada orang atau benda; perbuatan bermusuhan yang bersifat
penyerangan fisik ataupun psikis terhadap pihak lain.
2.
Menurut Wikipedia
Indonesia (2013): Dalam psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi
merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya
atau kesakitan
3.
Pengertian agresi
menurut beberapa ahli, diantaranya adalah:
a. Buss
mengemukakan bahwa agresi adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti,
mengancam atau membahayakan individu-individu, objek-objek yang menjadi sasaran
perilaku tersebut baik secara fisik atau verbal dan langsung atau tidak
langsung.
b. Atkinson
mengemukakan bahwa agresi adalah perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang
lain atau merusak harta benda.
c. Goble
mengemukakan bahwa agresi adalah suatu reaksi terhadap frustrasi atau
ketidakmampuan memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis dasar dan bukan naluri.
d. Baron
dan Bryne mengemukakan bahwa agresi sebagai suatu bentuk perilaku yang
ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya perilaku tersebut.
e. David
O. Sars mengemukakan bahwa agresi adalah setiap perilaku yang bertujuan
menyakiti orang lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti
orang lain dalam diri seseorang.
f. Murry
mengemukakan bahwa agresi adalah cara untuk melawan dengan sangat kuat,
berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain.
Dari beberapa pendapat para tokoh
diatas bahwa perilaku agresi dapat dicondongkan pada 4 sandaran pokok, yakni:
1. Agresi
merupakan perilaku. Dimana segala aspek perilaku itu juga terdapat di dalam
agresi, terutama emosi.
2. Adanya unsur
kesengajaan.
3. Sasaran
utamanya adalah manusia
4.
Bertujuan untuk menyakiti dan
menghancurkan orang lain
Berdasarkan
pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agresi adalah suatu tindakan
secara sadar yang dilakukan oleh seseorang dengan merusak suatu benda ataupun
merugikan orang lain dengan cara menyakiti atau membahayakan orang tersebut
baik secara fisik maupun psikologi.
B.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perilaku Agresi
Banyak
teori agresi yang mengatakan sebab utama yang menyebabkan munculnya perilaku
agresi adalah frustrasi (Hanurawan,2005). Dijelaskan di sini, perilaku agresif
muncul karena terhalangnya seseorang dalam mencapai tujuan, kebutuhan,
keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.
Watson,
Kulik dan Brown (dalam Soedardjo dan Helmi,1998) lebih jauh menyatakan bahwa
frustrasi yang muncul disebabkan adanya faktor dari luar yang begitu kuat
menekan sehingga muncul perilaku agresi. Bandura (dalam Baron dan Byrne. 1994)
menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial
melalui pengamatan terhadap dunia sosial.
Media,
baik cetak maupun elektronika tidak kalah penting dalam mendukung terbentuknya
perilaku agresi. Media yang menyuguhkan adegan kekerasan seperti Smack Down, UFC atau sejenisnya.
Tayangan ini akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan individu yang melihatnya,
terlebih mereka yang berusia muda, meniru model kekerasan seperti itu.
Situasi
yang setiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka ragam sedikit demi sedikit
akan memberikan penguatan bahwa hal itu merupakan hal yang menyenangkan atau
hal yang biasa dilakukan (Davidof,1991). Dengan menyaksikan adegan kekerasan
tersebut terjadilah proses belajar dari model yang melakukan kekerasan sehingga
akan memunculkan perilaku agresi. Bila perilaku seseorang membuat orang lain
marah dan kemarahan itu mempunyai intensitas yang tinggi, maka hal itu
merupakan bibit munculnya tidak hanya
perilaku agresi pada dirinya namun juga perilaku agresi orang lain.
Ada
penularan perilaku (Fisher dalam Sarlito,1992) yang disebabkan seringnya
seseorang melihat tayangan perilaku agresi melalui televisi atau membaca surat
kabar yang memuat hasil perilaku agresi, seperti pembunuhan, tawuran masal, dan
penganiayaan.
Zainun
Mu’tadin, S.Psi., M.Si. http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.html menyebutkan beberapa faktor penyebab perilaku
agresi, sebagai berikut:
1. Amarah
Marah
merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik
yang tinggi dan adanya perasaan tidak
suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang
mungkin nyata-nyata salah atau mungkin
juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991). Pada saat marah, ada 3 perasaan
ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya
timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah
perilaku agresi.
Jadi
tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon
terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering
memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman
merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. Anak-anak di kota
seringkali saling mengejek pada saat bermain, begitu juga dengan remaja
biasanya mereka mulai saling mengejek dengan ringan sebagai bahan tertawaan,
kemudian yang diejek ikut membalas ejekan tersebut, lama kelamaan ejekan yang
dilakukan semakin panjang dan terus-menerus dengan intensitas ketegangan yang
semakin tinggi bahkan seringkali disertai kata-kata kotor dan cabul. Ejekan ini
semakin lama-semakin seru karena rekan-rekan yang menjadi penonton juga
ikut-ikutan memanasi situasi. Pada akhirnya bila salah satu tidak dapat menahan
amarahnya maka ia mulai berupaya menyerang lawannya. Dia berusaha meraih apa
saja untuk melukai lawannya. Dengan demikian berarti isyarat tindak kekerasan
mulai terjadi. Bahkan pada akhirnya penontonpun tidak jarang ikut-ikutan
terlibat dalam perkelahian.
2. Faktor
Biologis
Ada
beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991):
a.
Gen tampaknya
berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai
yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan
jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan
betinanya.
b.
Sistem otak yang tidak
terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural
yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau
ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan
kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara
kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang
berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang
tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk
melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan
yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera
otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
c.
Kimia darah. Kimia
darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga
dapat mempengaruhi perilaku agresi.
Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan
beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang
memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin
sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi
lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri
(dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang
sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron
menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka
mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita
yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat
berlangsungnya siklus haid ini.
3. Kesenjangan
Generasi
Adanya
perbedaan atau jurang pemisah antara generasi anak dengan orang tuanya dapat
terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali
tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah
satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. Permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan
segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang
dapat muncul seperti masalah
ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
4. Lingkungan
a. Kemiskinan
Bila
seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi
mereka secara alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991).
Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota
Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya
lebih dari satu orang yang berdatangan silih berganti. Bila anda memberi salah
satu dari mereka uang maka anda siap-siap di serbu anak yang lain untuk meminta
pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul
pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, Terlebih bila mereka tahu jumlah
uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak
segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya.
Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah biasa saja.
Bila
terjadi perkelahian dipemukiman kumuh,
misalnya ada pemabuk yang memukuli istrinya karena tidak memberi uang
untuk beli minuman, maka pada saat itu anak-anak dengan mudah dapat melihat
model agresi secara langsung. Model agresi ini seringkali diadopsi anak-anak
sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi
yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar
yang belum berkembang optimal, anak-anak
seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara memukul, berteriak,
dan mendorong orang lain sehingga terjatuh dan tersingkir dalam kompetisi
sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya.
Hal
yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonomi
& moneter menyebabkan pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak
terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar dan
kesulitan mengatasinya lebih kompleks.
b. Anonimitas
Kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan
berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara
otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri
terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indra
dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang
dengan orang lain tidak lagi saling
mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu
cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang
merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak
lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.
c. Suhu
udara yang panas
Bila
diperhatikan dengan seksama, tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi
pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak
ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung
pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik
dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.
Hal
ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki
dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun
1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian
kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat
dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992)
5. Peran
Belajar Model Kekerasan
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar
menyaksikan adegan kekerasan melalui televisi
dan juga "games" ataupun
mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir
setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari
film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara
khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting
Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali
mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun
diyakini bahwa tontonan tersebut akan
berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan
yang diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian
dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru
model kekerasan tersebut.
Model
pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan
tindak kekerasan. Hal ini tentu membuat penonton akan semakin mendapat
penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat
dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan
tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi
sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam
suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991) dikemukakan bahwa anak-anak yang
memiliki kadar agresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif,
mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan
adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari, dan ada
kemungkinan efek ini sifatnya menetap.
Selain
model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung
secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering
menyaksikkan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan
orang yang melakukan agresi secara langsung
atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan
rumah menyaksikan peristiwa perkelahian
antar orang tua di lingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan
peristiwa sejenisnya, semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata
sangat efektif bagi dirinya.
Model
kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di
toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta
anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan
sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang.
Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di
pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan
ada mainan yang dengan model Goilotine
(alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan
kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa
kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama
efektifnya adalah permainan dalam video
game atau play station yang juga
banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang
mengasikkan.
6. Frustrasi
Frustrasi
terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan
salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah
akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur,
keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi
sulit sekali tercapai, akibatnya
mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi
yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang
lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang
siswa yang baru di skorsing akibat
membuat surat ijin palsu. Hal ini
menunjukan anak tersebut merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan
dengan cara menembaki guru-gurunya.
Begitu
pula tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta
ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai
contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat
banyak dengan cara nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek
mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian
disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak
(diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak
adalah untuk kebutuhan dirinya.
7. Proses
Pendisiplinan yang Keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan
penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat
menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan
Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat
remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci
orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada
akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan.
Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang
tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula
menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi
hukuman tidak diimbangi dengan alternative.
Cara lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk
keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya
karena kesibukan mereka).
Menurut
Kartono (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresi pada remaja
meliputi:
1.
Kondisi pribadi remaja,
yaitu kelainan yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun psikis, lemahnya kontrol
diri terhadap pengaruh lingkungan, kurang mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan kurangnya dasar keagamaan.
2.
Lingkungan rumah dan
keluarga yang kurang memberikan kasih sayang dan perhatian orang tua sehingga
remaja mencarinya dalam kelompok sebayanya, kurangnya komunikasi sesama anggota
keluarga, status ekonomi keluarga yang rendah, ada penolakan dari ayah maupun
ibu, serta keluarga yang kurang harmonis.
3.
Lingkungan masyarakat
yang kurang sehat, keterbelakangan pendidikan pada masyarakat, kurangnya
pengawasan terhadap remaja serta pengaruh norma-norma baru yang ada diluar.
4.
Lingkungan sekolah,
seperti kurangnya fasilitas pendidikan sebagai tempat penyaluran bakat dan
minat remaja, kurangnya perhatian guru, tata cara disiplin yang terlalu kaku
atau norma-norma pendidikan yang kurang diterapkan
C.
Cara
Mengatasi Perilaku Agresi
Terdapat beberapa strategi untuk mengendalikan dan
mengurangi perilaku agresi. Strategi-strategi tersebut adalah:
1.
Hukuman
Menurut kaum
behaviorisme, hukuman dapat dipakai
untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah
perilaku agresi.
Namun agar
dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus memenuhi tiga
syarat:
a.
Diberikan sesegera mungkin setelah
perilaku yang ingin dikurangi muncul
b.
Setimpal dengan perilaku yang muncul
c.
Diberikan setiap kali perilaku yang
ingin dikurangi timbul.
2.
Katarsis
Katarsis merupakan
pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan melampiaskannya dalam dunia
nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada individu
yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam aktivitas
katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi tingkat
rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi. Sedikit
bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne (dalam Hanurawan, 2004)
menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk
mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan
melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata
malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olahraga
itu dibanding sebelum menonton.
Pada konteks
katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata
hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan
tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu
tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila
individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan
dirinya marah.
3.
Intervensi
Kognitif: Permintaan Maaf
Pengakuan
kesalahan-kesalahan yang meliputi permintaan ampun/maaf dan mengatasi deficit kognitif salah satunya
dengan preattribution yakni mengatribusikan tindakan mengganggu yang
dilakukan orang lain pada penyebab yang tidak disengaja sebelum provokasi
benar-benar terjadi (contoh: Rudi menganggap Susi baru saja melakukan hal yang
menyebalkan namun Rudi mengingatkan dirinya sendiri bahwa Susi mungkin tidak
bermaksud membuat dirinya marah. Teknik lainnya adalah mencegah diri sendiri
(atau orang lain) terhanyut pada kesalahan sebelumnya baik yang nyata atau yang
diimajinasikan. Misalnya: dengan membaca, bermain puzzle, sehingga pikiran-pikiran kita teralihkan.
4.
Pengenalan Terhadap Model Non Agresif
Menurut
teori belajar sosial Albert Bandura, pengenalan terhadap model non agresif
dapat mengurangi dan mengendalikan perilaku agresi individu. Dalam penelitian
Baron pada tahun 1972 (dalam Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan
Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu
yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih
rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif.
5.
Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan
keterampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Pelatihan keterampilan
ini dimaksudkan untuk mengurangi frustrasi yang timbul akibat ketidakmampuan
dalam mengekspresikan dan mengomunikasikan keinginan kepada orang lain, gaya
bicara yang kaku, dan kurang sensitif terhadap simbol-simbol emosional orang
lain.
6.
Teknik Respon
yang Tidak Tepat (incompatible response techniques)
Teknik ini mengurangi
agresi di mana individu dipaparkan pada kejadian atau stimulus yang menyebabkan
mereka mengalami keadaan afeksi yang tidak tepat dengan kemarahan atau agresi.
Contoh: membuat diri sendiri tertawa dengan mengingat hal yang lucu ketika
merasa sedang marah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Agresi adalah suatu
tindakan secara sadar yang dilakukan oleh seseorang dengan merusak suatu benda
ataupun merugikan orang lain dengan cara menyakiti atau membahayakan orang
tersebut baik secara fisik maupun psikologi.
2.
Beberapa
faktor penyebab perilaku agresi, sebagai berikut: 1. amarah, 2. faktor
biologis, yakni: gen, sistem otak, kimia darah, 3. kesenjangan generasi, 4. lingkungan,
yakni: kemiskinan, anonimitas, suhu udara yang panas, 5. peran belajar model kekerasan,
6. Frustasi, dan 7. proses pendisiplinan yang keliru. Sedangkan, faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku agresi pada remaja meliputi: kondisi pribadi, lingkungan
rumah dan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah
3.
Terdapat beberapa strategi untuk
mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi, yaitu: hukuman, katarsis,
intervensi
kognitif, pengenalan terhadap model non agresif, pelatihan keterampilan sosial,
dan teknik respon yang tidak tepat (incompatible response techniques)
B.
Saran
Perilaku agresi harus dicegah ataupun diatasi dengan
melaksanakan strategi-strategi untuk mengendalikan
ataupun mengurangi perilaku agresi
itu sendiri dengan cara hukuman, katarsis, intervensi kognitif, pengenalan terhadap model non agresif,
pelatihan keterampilan sosial, dan teknik respon
yang tidak tepat (incompatible response techniques) sehingga kerukunan antarindividu dapat
tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
http://kamusbahasaindonesia.org/agresi KBBI Online
Faizal Nizbah, 2012. Pengertian dan Bentuk-bentuk Perilaku Agresif
http://faizalnizbah.blogspot.com/2013/06/pengertian-dan-bentuk-bentuk-perilaku.html diakses pada 20 Maret 2014 pukul 12.30 WITA
Akhmad Basar, 2013. Perilaku Agresi http://basyarakhmad.blogspot.com/2013_06_01_archive.html diakses pada 20 Maret 2014 pukul 13.10 WITA
Wikipedia, 2013. Agresi. http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi diakses pada 20 Maret 2014 pukul 13.14 WITA
Anonim, 2012. Agresi. http://jambeekidul.blogspot.com/2012_05_01_archive.html diakses pada 20 Maret 2014 pukul 13.16 WITA
Rudi, 2012. Agresi. http://anggurjiw4.blogspot.com/2012/02/bab-ii-pembahasan-2_07.html diakses pada 20 Maret 2014 pukul 13.20 WITA
HL Manurung, 2011. Gambaran Perilaku Agresif Pada
Suporter Sepak Bola Di Kota Medan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30260/4/Chapter%20II.pdf diakses pada 20 Maret 2014 pukul 13.20 WITA
Annisa Avianto, 2010. Agresi: Sifat Dasar,
Penyebab, dan Pengendaliannya https://annisaavianti.wordpress.com/tag/cara-mengatasi-agresi/ diakses pada 20 Maret 2014 pukul 13.30 WITA
Ahmad Taufik Ridwan, 2012. Makalah Agresi. http://ahmadtaufikby.blogspot.com/2012/07/makalah-agresi.html diakses pada 20 Maret 2014 pukul 13.20 WITA
1 komentar:
mantap,,,tentang psikologi..
artikel yang bermanfaat,thanks
Post a Comment
SAHABAT YANG BAIK SENANTIASA MEMBERIKAN KOMENTAR YANG BAIK PULA